Posts Subscribe to InFoGauLComments

Online bookmark Bookmark


Di suatu masa tepatnya tahun 1818, Belanda membangun sebuah jembatan sepanjang 40 meter. yang melintas di atas Sungai Batang Agam. Yang menghubungkan pasar Payakumbuh dengan daerah Aie Tabik di Sumatera Barat.
Pemerintahan Belanda menyiksa orang-orang Indonsia sebagai pekerja. Jembatan itu dibangun dari susunan batu merah berbentuk setengah lingkaran. Konon katanya batu-batu itu direkat dengan kapur yang dicampur semen tanpa menggunakan besi. Kemudian jembatan itu menjadi saksi sejarah perjuangan anak bangsa.
***

Jembatan Ratapan Ibu Tempat Exsekusi Pejuang Bangsa
***
Terkisahlah cerita luka dari jembatan yang kokoh itu. Di sebuah desa, tepatnya daerah Limapuluh Kota. Desa nan indah, sejuk dan subur tanahnya. Bukit berbatu menjulang ke angkasa, simbol keindahan yang dikarunia Sang Maha Pencipta. Jauh sebelum negeri ini bernama Indonesia Raya. Hiduplah seorang anak laki-laki bernama Buyung yang baru berusia 10 Tahun.

Tanah Subur di Limapuluh Kota Payakumbuh (doc.pribadi)
Situasi daerah sedang berkecamuk dalam perang. Setiap laki-laki turun memanggul senjata melawan penjajah Belanda. Tidak terkecuali dengan Buyung. Dengan gagah berani ia berjuang bersama Ayahnya, merebut kemerdekaan negeri tercinta.
Seperti biasa, sore itu Buyung telah bersiap maju ke arena laga. Senjata seadanya ditangan kecil yang sejujurnya belumlah kokoh memikul bambu runcing yang beberapa waktu lalu telah disiapkannya. Petang akan segera menghilang, Malam adalah saat yang dinantikan para pejuang untuk bergerilya.
Dengan semangat membaja, bersama Ayahnya Buyung turun dari gubuk tuanya. Diiringi doa haru Ibundanya tercinta. Demi bangsa merdeka yang diimpikan mereka, sang Ibu rela melepas suami dan anak bujangnya bertempur. Mempertaruhkan nyawa demi kebebasan mereka.
“Pergilah Buyung, jaga dirimu baik-baik.” Sambil mengusap rambut putranya si Ibu berkata.
“Doakan kami Mande, kami akan pulang membawa berita gembira. Kami akan mengusir kaum penjajah itu dari tanah kelahiran kita.” Dengan semangat menggebu Buyung menenangkan Ibunya.
Cara ia bicara tidaklah seperti anak usia 10 tahun. Karena derita dan keadaan negeri membuat mereka hanya mengerti satu kata. “Merdeka”
Mande akan selalu berdoa untukmu nak, dan untuk semua pejuang kita yang gagah berani itu.”
“Kita akan mendapatkan kembali tanah dan hak kita, sehingga kita akan hidup bebas merdeka. Kita tidak perlu lagi membayar upeti kepada mereka, dari hasil bumi negeri kita.”
“Mereka penjajah kejam, dengan serakah telah merampas semua yang kita miliki. Maka harga diri dan kehormatan kita tidak boleh mereka injak-injak semaunya.”
“Demi bangsa ini! Demi leluhur kita yang telah mendirikan daerah ini. Kulepaskan kalian orang-orang yang paling kucintai.”
“Kalian hartaku paling berharga. Maka berjuanglah dengan sepenuh tenaga. Doa-doa Mande dan anak-anak perempuan yang kalian tinggalkan akan selalu kami senandungkan untuk keberhasilan kalian.” Luruh sudah air mata Ibu Buyung bicara.
“Tetaplah waspada duhai Dinda, Mata-mata kompeni ada di setiap sudut desa. Berhati-hatilah, jangan pergi meninggalkan rumah selama kami tak ada.”
“Percayalah kami akan kembali dengan kemenangan di tangan kita!” Sambil mengepalkan tangan dan mata berbinar penuh harapan Ayah Buyung menitip kata untuk istrinya.
Dua potong ubi rebus dibungkus daun pisang diselipkan Ibunda Buyung sebagai bekal suami dan anaknya dalam perjalanan. Ayah Buyung meneguk air putih dari gelas plastik yang sudah berkarat, sisanya diikat dengan tutup plastik di atasnya. Kemudian memasukkannya ke dalam ransel kecil lusuh yang di dapatnya dari kawan sesama pejuang.
Keluarga kecil itu bertiga saling berpelukam, dengan rasa yang sudah tentu sangat mengharukan.
**
Malam telah mulai larut, Suasana desa begitu mencekam, gelap dan senyap. Lampu-lampu petromak di setiap rumah tidak adalagi yang menyala. Bertanda semua warga telah pulas dalam tidurnya. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan para pejuang yang tengah melaksanakan tugasnya.
Tusukan udara dingin menembus sampai ke tulang sum-sum. Buyung merangkak dan merayap mencari sasaran bersama pejuang lainnya. Tiba-tiba sesuatu terjadi. Saat mereka hampir sampai di markas Belanda.
Seorang teman Buyung ternyata terpisah dari rombongan akhirnya ia tertangkap tentara Belanda. Dengan keji tentara Belanda menggiringnya ke Pos penjaga. Maka hebohlah suasana malam itu, tembakan demi tembakan bertubi-tubi dilepaskan oleh belanda. Karena mereka yakin ada penyusup dan musuh yang sedang mengintai mereka.
Sempat juga rombongan Buyung dan ayahnya melawan mereka. Dengan melemparkan anak-anak panah yang mereka bawa. Terdengar pekik dan erangan beberapa orang tentara Belanda yang terkena sasaran busur panah.
Dengan mata menyala menembus gelap para pejuang mencari mangsa. Seorang serdadu melintas hanya berjarak satu meter dari arah persembunyian mereka. Sigap Ayah Buyung melemparkan bambu runcing sekuat tenaga, bak tongkat lembing mengayun ke udara.
Ssssssssaaaaaaatttt,” tepat mengenai jantung sang tentara. Darah segar muncrat seketika, dengan erangan, laksana lolongan anjing meregang nyawa.
Malam semakin gaduh, membabi buta Belanda memuntahkan peluru kearah Buyung dan kawan-kawannya. Tidak butuh waktu lama. Akhirnya Buyung dan rombongannya ikut tertangkap sebelum mampu melawan dan membunuh lawan lebih banyak lagi.
Mereka menjadi tawanan perang. Sambil menunggu pagi datang puaslah tentara Belanda menyiksa mereka dengan sangat kejam.
**
Sinar sang surya telah menampakkan wajahnya. Tawanan perang digiring menuju jembatan di sungai Batang Agam. Mereka disuruh berbaris dan bersiap menerima eksekusi untuk hukuman mati nan keji.
Tentara Belanda menembaki mereka satu persatu.
“Dorrr, Dorr, Dorr.” Dentuman peluru memecah seisi desa.
Wanita-wanita berhamburan ketakutan. Kemudian pekik tangis terdengar dari jembatan. Dengan berduyun-duyun mereka berlarian menuju jembatan ingin tahu siapakah yang tertembak pagi itu.
Darah mengucur dari tubuh Buyung, ayahnya dan para pejuang lainnya. Teriakan Allahuakbar masih sempat didengar Ibunda Buyung sebelum tubuhnya tercampak ke dalam sungai. Derasnya air sungai menghanyutkan tubuh kecilnya.
Ibu Buyung berdiri di atas jembatan berjejer bersama wanita lainnya. Berlinangan air mata mereka, meratapi nasib suami dan anak-anaknya yang terkapar hanyut menjadi mayat. Darah masih tersisa di pinggir jembatan. Ratapan mereka mengiringi mayat pejuang bangsa yang di bawa arus sungai Batang Agam entah kemana.
Semenjak itu Ibu Buyung hidup sebatang kara, tanpa anak dan suaminya.
Demikianlah kisahnya. Sampai saat ini, jembatan itu dinamakan jembatan ratapan Ibu. Sebagai saksi sejarah perjuangan Buyung dan kawan-kawannya. Dan dibuat pula tugu patung seorang perempuan di sisi jembatan yang tengah menunjuk ke sungai Batang Agam.
Adik-adik yang baik! Kini kita telah merdeka, maka teruslah berjuang membangun bangsa. Tentu saja kini perjuangan kita bukan lagi untuk melawan penjajah. Tapi kita berjuang demi mengharumkan nama negara dengan prestasi-prestasi kita. Ingatlah selalu jangan pernah membuat Ibu pertiwi meratap karena ulah kita yang tercela.

Read more >>
 

Follows

Blogroll

Traffic Info

Here is the HTML code for this image:hasnul_9
Image by Cool Text: Free Graphics Generator - Edit Image